Secara sederhana "Kemiskinan Alkitab" adalah suatu kondisi ketika seseorang atau kelompok etnis tertentu tidak memiliki akses yang memadai pada Alkitab dalam bahasa yang dipahami, atau bahasa hati mereka.
Adapun terjadinya kemiskinan Alkitab ketika seseorang tidak dapat peroleh Alkitab karena faktor ekonomi, atau karena meskipun Alkitab tersedia, tetapi tidak dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari jemaat. Bahkan, banyak orang Kristen yang sudah dibaptis sejak kecil pun hidup tanpa pernah membaca seluruh Alkitab seumur hidupnya. Sayangnya, ini adalah kenyataan yang sangat mengkhawatirkan di Indonesia, yang mana banyak orang tidak memiliki akses terhadap Alkitab yang bisa disebabkan oleh:
Kurangnya terjemahan dalam bahasa yang dimengerti;
Keterbatasan fisik atau finansial;
Rendahnya tingkat literasi atau pendidikan dalam membaca dan memahami Alkitab;
Kemiskinan Alkitab dapat juga disebabkan oleh konflik antar agama, budaya, politik dan geografis.
Dari paparan di atas itu, dapat diklasifikasikan kemiskinan Alkitab dalam tiga jenis, yaitu:
(1) ketidaktersediaan Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami dengan baik;
(2) Ketidakmampuan finansial untuk belikan Alkitab;
(3) kesalahpahaman mengenai kegunaan dan manfaat Alkitab bagi pribadi maupun jemaat. Berikut ini penjabaran lebih lengkap akan setiap faktor tersebut.
Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai upaya penerjemahan Alkitab ke dalam ratusan bahasa daerah, data menunjukkan bahwa masih ada banyak orang yang tidak memiliki akses ke Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Di Indonesia misalnya, ada sekitar 712 bahasa, tetapi hanya 142 bahasa yang memiliki Alkitab lengkap, dan hanya 53 yang memiliki Perjanjian Baru.
Selain itu, adapun orang yang tidak memiliki Alkitab karena mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya, tidak tahu bahwa Alkitab tersedia secara gratis (online), atau memiliki anggapan bahwa Alkitab bukan untuk "orang biasa" (hanya untuk imam atau "orang suci"). Namun ironisnya, jenis kemiskinan Alkitab tidak hanya terjadi di wilayah terpencil, tetapi juga di kota besar, di gereja tua, dan di tengah masyarakat yang sudah lama mengenal Kekristenan. Masalahnya bukan hanya teknis, tapi juga spiritual dan kultural.
Akhirnya, banyak orang tidak memahami nilai dari firman Tuhan. Salah satu akar permasalahan ini, terletak pada cara Kekristenan pertama kali dibawa ke Indonesia. Dalam banyak kasus, pendekatan misi kolonial lebih menekankan pada struktur gereja dan lembaga pendidikan daripada pemuridan yang berbasis pada Firman. Kekristenan disebarkan lewat sistem, bukan hubungan pribadi dengan Kristus dan Firman-Nya. Banyak orang menjadi Kristen karena faktor politik, sosial, atau ekonomi, bukan karena pertobatan dan kelaparan rohani.
Lebih jauh lagi, gereja sering kali berada di bawah bayang-bayang adat dan budaya lokal yang sangat kuat. Dalam banyak komunitas, pendeta atau pemimpin gereja tidak memiliki kuasa untuk menentang adat, bahkan jika adat tersebut bertentangan dengan ajaran Alkitab. Ini menyebabkan banyak gereja bersikap tidak peduli, tidak mendorong jemaat untuk hidup berdasarkan Firman, dan hanya menjalankan fungsi seremonial atau administratif belaka.
Di Indonesia, realita kemiskinan Alkitab ini masih sangat nyata—banyak individu bahkan belum pernah mendengar tentang Alkitab, apalagi membacanya.
Menurut The Patmos Survey Report yang dirilis oleh The British and Foreign Bible Society pada April tahun 2025, menunjukkan bahwa 48% penduduk Indonesia termasuk dalam kelompok yang disebut “Unaware-Religious-Closed” — yaitu, orang-orang yang sangat religius, namun sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang isi Alkitab. Dari kelompok ini, sebanyak 89% tidak mengenal tentang Alkitab dan ajarannya.
Jika dihitung berdasarkan total populasi Indonesia yang diperkirakan mencapai 278 juta jiwa, maka sekitar 133 juta orang masuk dalam kelompok ini, dan lebih dari 118 juta orang di antaranya hidup tanpa pernah mengenal isi Firman Tuhan. Ini bukan hanya angka, tetapi gambaran nyata dari jutaan jiwa yang religius, sedang mencari makna hidup, namun belum memiliki akses pada kebenaran yang terdapat dalam Alkitab. Fakta ini menjadi panggilan serius bagi setiap orang percaya untuk mengambil bagian dalam menghapus kemiskinan Alkitab di negeri ini.
Oleh sebab itu, untuk memerangi kemiskinan Alkitab tersebut, Yayasan Bejana Yang Baru berkomitmen untuk meningkatkan akses Alkitab bagi jemaat terpencil di seluruh Indonesia, demi meningkatkan daya baca Alkitab, meningkatkan pemahaman jemaat akan Alkitab dengan:
Berbagai kegiatan edukatif;
Mendukung penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa suku yang belum memiliki terjemahan yang memadai;
Mendistribusikan Alkitab secara gratis;
Meningkatkan minat baca Alkitab melalui gerakan nasional baca Alkitab.